Selasa, 02 Desember 2014

Konspirasi





Konspirasi secara umum adalah bentuk kerjasama dibalik layar, maknanya sendiri kemudian cenderung bernuansa negative dikarenakan jarangnya seseorang atau kelompok berkonspirasi untuk tujuan yang baik dan mulia.

Oleh karena sifatnya yang tertutup dan penuh rahasia, teori konspirasi berperan dalam mengungkap fakta dan benang merah yang  janggal dalam sebuah kejadian atau perkara. Mencari fakta dalam perkara rahasia bukanlah hal yang mudah tapi juga tidak lantas mustahil, disinilah teori konspirasi berperan. Dengan menggunakan fakta-fakta janggal yang terbatas, teori konspirasi dibuat untuk membangun hipotesis dasar untuk kemudian dipakai sebagai alat pengungkap fakta berikutnya. Proses ini terus berlanjut sampai akhirnya sebuah kenyataan dapat diungkap.

Teori konspirasi sesungguhnya berangkat dari pengungkapan seperangkat fakta yang kemudian diikat dalam kesimpulan atau hipotesa tertentu yang sifatnya sementara. Akan tetapi dalam perkembangannya, teori konspirasi menjadi teori yang sifatnya lebih pada praduga-praduga yang bahkan tidak memiliki fakta awal yang relevant.

Fenomena dimana teori konspirasi turun kasta menjadi teori tebak-tebakan sejatinya sudah lama terjadi. Penulis sekaligus pakar semiotika dan abad pertengahan, Umberto Eco dalam novelnya “Foucault’s Pendulum”, dengan bagus menangkap fenomena tersebut.




“Cocoklogi" dan Teori Konspirasi

Oleh: Azeza Ibrahim Rizki, Aktifis Kajian Zionisme Internasional

Membicarakan tema konspirasi selain memang menarik juga seolah hampir tiada akhirnya. Di Indonesia sendiri walau sudah cukup lama berkembang, pembicaraan tentang teori konspirasi baru marak dibicarakan umum sejak diterbitkannya novel The Da Vinci Code.

Fenomena maraknya pembahasan tentang teori konspirasi yang dipengaruhi oleh buku karya Dan Brown ini dapat kita lihat dari menjamurnya buku-buku yang terbit kemudian untuk menjelaskan lebih lanjut tentang isu apa sebenarnya yang dibawa Dan Brown dalam bukunya.

Isu-isu seperti perkumpulan dan organisasi rahasia dengan agenda besar tertentu betul-betul menarik perhatian banyak pihak. Indonesia yang cukup lama berada dibawah kontrol informasi rezim Orde Baru betul-betul terbelalak dengan pemaparan-pemaparan tentang organisasi macam Freemasonry, Illuminati, Rossicrucian, Brotherhood of Snake dan lain-lain.

Apalagi agenda yang dibawa oleh kelompok rahasia ini adalah agenda besar yang pastinya melibatkan seluruh orang di dunia yang ironisnya justru tidak menyadari adanya agenda tersebut. Agendanya sederhana saja, yakni menguasai dunia.

Sayangnya, ketika isu seperti ini jatuh ketangan public, seringkali masyarakat awam bertindak reaktif ketimbang antisipatif. Walau agenda “menguasai dunia” itu terdengar sederhana, tapi aspek-aspek pendukung agar rencana tersebut terwujud tidaklah sederhana. Disinilah masalah terjadi, ketika masyarakat awam mulai menyederhanakan perkara yang tidak sederhana.



Gagap Informasi, Semua Berkonspirasi

Konspirasi secara umum adalah bentuk kerjasama dibalik layar, maknanya sendiri kemudian cenderung bernuansa negative dikarenakan jarangnya seseorang atau kelompok berkonspirasi untuk tujuan yang baik dan mulia.

Oleh karena sifatnya yang tertutup dan penuh rahasia, teori konspirasi berperan dalam mengungkap fakta dan benang merah yang janggal dalam sebuah kejadian atau perkara. Mencari fakta dalam perkara rahasia bukanlah hal yang mudah tapi juga tidak lantas mustahil, disinilah teori konspirasi berperan. Dengan menggunakan fakta-fakta janggal yang terbatas, teori konspirasi dibuat untuk membangun hipotesis dasar untuk kemudian dipakai sebagai alat pengungkap fakta berikutnya. Proses ini terus berlanjut sampai akhirnya sebuah kenyataan dapat diungkap.

Teori konspirasi sesungguhnya berangkat dari pengungkapan seperangkat fakta yang kemudian diikat dalam kesimpulan atau hipotesa tertentu yang sifatnya sementara. Akan tetapi dalam perkembangannya, teori konspirasi menjadi teori yang sifatnya lebih pada praduga-praduga yang bahkan tidak memiliki fakta awal yang relevant.

Fenomena dimana teori konspirasi turun kasta menjadi teori tebak-tebakan sejatinya sudah lama terjadi. Penulis sekaligus pakar semiotika dan abad pertengahan, Umberto Eco dalam novelnya “Foucault’s Pendulum”, dengan bagus menangkap fenomena tersebut.

Dalam novelnya tersebut, Eco dengan lugas mengungkap betapa berbahayanya jika sekumpulan fakta yang terbatas tidak dipahami dengan bijak dan justru disikapi dengan tergesa-gesa. Buku yang diterbitkan tahun 1988 itu adalah wujud auto critics terhadap fenomena gandrungnya masyarakat Eropa dengan teori-teori konspirasi yang sebenarnya telah terdegradasi menjadi teori tebak-tebakan. Artinya, di Barat sana fenomena ini sesungguhnya sudah lama muncul.

Sedangkan di Indonesia sendiri, yang boleh dibilang cukup terlambat menerima teori konspirasi a la Barat, rupanya juga mengalami hal yang tidak jauh berbeda. Hal ini diperparah dengan absennya orang-orang yang ahli dibidangnya, terutama seorang ahli dengan framework Islam.

Contoh sederhana dalam menyikapi karya seni buah tangan Da Vinci, fakta macam apa yang bisa didapat dari seseorang yang tidak paham sejarah dan tidak faham seni. Sementara fakta yang hendak diungkap adalah ideology dibalik karya seni.

Walhasil, jangankan membuat hipotesa, dalam pengumpulan data saja bisa jadi kita sudah banyak salahnya. Dari kerancuan-kerancuan yang demikian bisa jadi menumbuhkan phobia dalam diri kita bahwa semua ini adalah hasil konspirasi.

Habis Konspirasi Terbit Cocoklogi

Jika kata Biologi itu berasal dari bios yang artinya “kehidupan” dan logos yang artinya “ilmu”, maka kata Cocoklogi mungkin berasal dari kata cocok yang artinya memang cocok, tepat atau “klop” dan logos yang artinya ilmu. Dengan kata lain Cocoklogi adalah ilmu yang membahas kecocokan-kecocokan, atau klop-klopan antara satu fakta dengan yang lainnya.

Kata Cocoklogi ini sesungguhnya hadir dikarenakan alasan yang sama dengan terbitnya novel Umberto Eco yang berjudul “Foucault’s Pendulum” itu. Kata Cocoklogi adalah sebuah bentuk kritik dari masyarakat yang bosan atau boleh jadi muak dengan para “pakar konspirasi” partikelir yang seringkali mencocok-cocokkan fakta yang tidak cocok kedalam sebuah teori konspirasi tertentu.

Mirisnya, ilmu Cocoklogi ini cukup menjamur ditengah kalangan aktivis Islam yang justru baru belajar tentang apa itu konspirasi. Praduga dijadikan fakta, asumsi dijadikan konsepsi, sungguh pola fikir semacam ini, alih-alih menyelesaikan perkara konspirasi global, justru menjadi masalah “konspirasi” sendiri di dalam tubuh umat ini.

Terutama yang perlu ditekankan adalah perkara symbol yang dipopulerkan oleh Dan Brown. Jangan hanya karena ada logo mirip bentuk “satu mata” maka langsung di justifikasi sebagai antek New World Order, jangan pula hanya karena pakai kata “cahaya”, sesuatu langsung diasosiasikan dekat atau berkaitan dengan Illuminati.

Sifat bahasa, yang didalamnya termasuk symbol, adalah arbitrer. Artinya bisa jadi sama “mata”nya tapi maknanya bisa berbeda. Karena masalah pemaknaan akan kembali kepada ideology yang beraneka ragam adanya.

Bersikaplah dengan Sikap Seorang Muslim

Kalau umat Islam terjebak dengan kebodohan yang sama yang dilakukan para pemerhati teori Konspirasi di Barat yang keblinger, sungguh percuma predikat Muslim menempel pada diri kita. Sebab seorang muslim jelas-jelas dilarang untuk bereaksi hanya berdasarkan kepada praduga atau dzon.

Dalam Islam kita diajarkan dengan teliti dan hati-hati tentang bagaimana mengelola informasi dalam kehidupan sehari-hari, kita juga dijarkan bahwa mencari dan mengungkap kebenaran yang bisa menjadi pengetahuan bukan pekerjaan sehari dua hari, perlu proses yang panjang dan kontinu didalamnya.

Adanya konspirasi itu pasti, tapi sungguh rugi hanya paham konspirasi tapi tidak mencari solusi. Apalagi kalau sampai kita memakai Cocoklogi untuk melemahkan perjuangan Islam itu sendiri.


ISLAMPOS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar